Minggu, 16 Agustus 2015

Kisah Kita Sore Itu

ilustrasi: aisyafra.files.wordpress.com


Jemari cahaya senja meremas kenangan, menggurat hati melalui nada dalam untaian ruang dan waktu. Membius kesadaran, menyandarkan keinginan dalam pelukan harapan, tampak sayu memandang gerombolan kapinis yang terbang berkelompok, mengiringi kepergian senja yang terlukis dalam keindahan sore, lembayung senja terlihat mempesona di atas sana.

Sudah beberapa kali, kami menikmati senja yang merona. Ya, kami, bukan aku sendiri. Dan sekarang, itu adalah bagian yang luar biasa, bagian yang selalu ku nantikan keberadaannya. Dan dia, satu-satunya perempuan yang akhirnya bisa ku ajak untuk menikmati pesona sang senja. 

Akan ku ceritakan kisah yang selalu ku tuliskan dalam bingkai-bingkai dalam rangkaian kata itu, tentang para wanita itu, wanita dan kisah senja yang mempesona, ku beritahu kau tentang itu, mereka dan aku tentang senja itu. Kami bahkan belum pernah menatap senja di tempat yang sama. Ya, belum pernah. Dan dia, adalah satu-satunya perempuan itu. Jika kau tanya siapa orang yang beruntung, tentu itu adalah aku. Bukan dia. Menjadi perempuan pertama yang ku ajak menyaksikan indahnya senja, bukanlah hal yang terlalu istimwa, itu adalah momenku, itu adalah inginku, dan itu adalah bagian dari angan-angan yang mulai terbuka satu persatu.

Biasanya, aku hanya bisa menggurat gambar indah senja melalui kata-kata, melalui deskripsi singkat dari pesan elektronik. Melalui rangkaian kata yang tertuang dalam puluhan paragraph. Dan aku selalu berhasil membuka setiap jarak dalam kenangan yang membentang, dalam indahnya pesona sang hari yang mulai menepi. Kisah itu mungkin akan menjadi titik balik dari rangkaian cerita sebelumnya, apakah ini akan berakhir di satu titik ini, atau akan kembali berlanjut? Aku tidak tahu, tapi jika kau tanya apa inginku. Akan ku beritahu kau itu. Inginku, semoga saja pencarianku akan berhenti pada titik ini, dengannya. Semoga saja, itu rapalan mantra yang terus ku ucapkan di setiap gelap merenggut cahaya di cakrawala. Dan ku harap, Si Pemilik Hati memberikan anggukan untuk setiap rapalan mantra yang ku eja.
…..
Suasana malam ini masih seperti beberapa hari yang lalu, masih cerah dengan hiasan beberapa kemerlip bintang yang tergambar di bentangan malam yang indah, itu sangat indah. Aku tidak mengada-ada, memang begitulah adanya. Malam akan selalu menjadi kisah misterius, seperti ujarku waktu itu, malam akan selalu menjadi rangkaian cerita yang selalu sulit di baca, tapi, gunakan hatimu, maka kau akan tahu maksudnya. Dia bahkan bisa berujar dalam hembusan semilir angin, pelan, perlahan, dan itu menjadi bagian yang harus dimengerti, tak bisa lantas kau langsung paham maksudnya begitu saja.

Beberapa waktu ini memang keadaan mulai menampakkan wujudnya yang sebenarnya, sama seperti yang terjadi di pesisir pantai, ketika kuatnya gelombang menghantam karang, gelombang akan selalu mengantam, tak peduli siang atau malam, setiap detik dalam setiap putaran waktu. Dari hal terkecil hingga masalah prinsipil, masalah itu terus saja mendera. Ku beritahu, bahwa cinta itu tak melulu manis, ada kalanya dia terasa pahit, tak melulu tertawa, terkadang –atau bahkan lebih sering- kita akan merasakan kecewa, tapi memang begitulah iramanya.

Bukanlah kita sudah mengeja kata ikhlas ketika bisa mulai membaca, bukankah kita telah berlatih untuk memahami arti kata rela, ketika kita mulai memutuskan untuk memiliki sesuatu? Dan benar, jika memahami semua itu bukanlah semudah untuk mendapatkannya, prinsip dasar yang ku temukan –di sebuah kompetisi- bahwa merebut atau mendapatkan itu lebih mudah, tetapi mempertahankannya, itu sulit. Sebuah pelajaran yang ku dapatkan baru-baru ini, pelajaran yang sebenarnya sudah ku ketahui dari waktu dulu.

Tapi, itu bukanlah soal. Karena –akan selalu ku coba – untuk memahami itu, mengerti dari setiap garis yang tergurat dalam ketetapan langit, bahwa setiap kesusahan akan selalu ada kemudahan, bahkan kita tak pantas untuk mempertanyakan setiap kejadian yang telah terjadi, terlebih mempertanyakannya kepada Sang Pemilik. Karena, nikmat mana yang kita dustakan. Bukankah tidak terhitung nikmat yang kita dapatkan? Bukankah seharusnya kita menerimanya. Bukankah kita tunduk kepada aturan-Nya. Ya, begitulah seharusnya. Tapi, lagi-lagi kita terlalu tolol untuk memahami itu. Terlalu banyak pertanyaan yang kita ajukan kepada-Nya, tanpa menoleh ke belakang, tanpa mengeja ketetapan yang telah digariskan.


Persoalan itu, percayalah. Akan ada penyelesaian. Tergantung bagiamana kita menyikapi itu. Maka, jabatlah erat setiap masalah, dan jadikan itu sebagai teman bukan lawan, karena ketika kita bisa berdamai dengannya, kita tidak akan pernah merasa ia menekan, justru kita akan semakin tegak berdiri.
Read More




Kamis, 25 Juni 2015

Merapal Harapan

#Bagian Sekarang dan untuk Cerita Masa Depan

Ilustrasi:1.bp.blogspot.com


“Kau tahu, ku rasa rapalan mantra doa miliknya lebih kuat daripada milikku. Dari setiap tempat yang dia datangi, dari setiap waktu yang dia lewati, sedetikpun dia tak pernah melupakan untuk merapal harapan itu. Kau tahu, semua itu begitu bermakna, begitu berirama, begitu kuat. Firasatku buruk tentang ini. Tentang dia yang tentu saja masih mengharapkanmu, entah kapan akan berakhir penantiannya.

“Dia, mungkin mencintaimu melebihiku. Dia, mungkin mengharapkanmu melebihi harapanku. Ketakutanku hanya satu. Aku takut kau lantas menyesal karena meninggalkannya. Ku lihat dia begitu anggun, begitu kuat, dengan jejak kaki yang terus menapaki tiap jengkal bumi nusantara ini. Aku, iri padanya.”

Senja makin tenggelam di dasar sana, menyisakan roman indah dari bias cahaya yang tertera di antara cakrawala Membungkam seribu tanya yang terlontar dari keraguan sang pemilik hati. Sekumpulan burung golejra terbang bergerombol, mencicit memecah kebisingan kota yang diselimuti warna lembayung, membentuk paduan warna yang mempesona, elok dipandang mata, melegakan ruang hati.

Sementara dia berhenti, ujung matanya menyipit, bibirnya tampak maju beberapa millimeter berwarna merah muda, membuatku semakin gemas dibuatnya. Aku tersenyum menatapnya, memegang kepalanya, mengelus perlahan.

“Kau, masih saja seperti itu. Kau beritahu kau beberapa hal, dari setiap tempat yang ku datangi, orang-orang yang ku jumpai, dari setiap detik dalam putaran waktu yang mengintari hari, aku juga merapal doa, menjadikannya begitu bermakna, menjadi begitu kuat, kau tahu firasatku selalu baik. Terlebih tentang kita, iya, kita.

“Lihat, perhatikan setiap kejadian yang akan terjadi setelah ini. Kau tahu bukan, bahwa kita bahkan tidak bisa mengetahui apa yang akan terjadi. Kita hanya bisa berprasangka. Ketakutanmu, mungkin baik, tapi bisa menjadi buruk jika terlalu berlebih, bukan begitu?”

Aku mencoba mendapatkan kesepakatan. Melukiskan senyum terindah di wajah kusut ini, mencoba mematut-matutkan diri di depannya. Ia hanya mengangguk, tetap cemberut.

“Hahaha, kau ini. Jangan seperti itu, semakin kau merajuk, nanti tak bisa ku lupakan wajah manismu itu. Sudah cukup kau mengintimidasi tiap malam dan kesendirianku dengan wajah itu, kau tahu, wajahmu selalu ada di pelupuk mata, bahkan ketika mataku terpejam, kau sedikit pun tak berpaling. Sekarang, apa kau tega menekanku dengan tampang seperti itu?” aku tertawa demi melihat wajahnya yang terlihat kesal, namun tak berapa lama senyum tersungging di wajahnya.

“Nah, begitu lebih baik. Kau terlihat lebih cantik beberapa persen dari sebelumnya.” dia mencubit lenganku.

Kenangan itu masih begitu jelas tampak di kepalaku, masih berada mengisi relung jiwaku. Setiap detik bahkan hingga putaran waktu ini kian menekan. Malam semakin dingin, akhir-akhir ini suasana menjadi tak menentu, angin menerjang ketika malam datang, dan terik membakar ketika siang menjelang. Tapi setidaknya di penghujung hari aku bisa tersenyum menatap ke atas, menikmati mahakarya sang pencipta, ada lukisan indah ketika sore menjelang. Ah, aku selalu bisa merasakan kehadirannya kini bahkan setiap detik aku bisa merasakan sentuhan jemari indahnya.

Bagian-bagian itu terususun kembali. Membentuk sebuah bidang dengan garis tegas dari tiap sisinya. Menguak tabir dari kepingan silam yang akan menjadi salah satu pondasi kuat dari perjalanan kisah seorang anak manusia, menjadikannya pegangan ketika badai kecewa dan nestapa menerjang dinding-dinding harapan.

Waktu itu, pernah ku berujar, akan membuatnya bahagia dan tertawa. Namun, tak terhitung berapa banyak ku torehkan luka dan kecewa kepadanya, namun, dengan ketulusan hati dan kelembutan rasa yang dimilikinya, semua rasa kecewa itu melebur menjadi sebuah rasa yang kian menguat. Mengaburkan setiap kepingan kata salah menjadi untaian kata maaf dan menjadi ucapan terima kasih.

Tak terhitung berapa kali cemooh dan ucapan bernada miring menerjangku, dan semakin kuat dia bisa menggenggam keyakinanku tentang mimpi-mimpi itu, tentang harapan yang hanya di anggap isapan jempol bagi sebagian lainnya.


Malam ini, ketika pekat memeluknya begitu erat, aku juga berada di sana, mencoba memeluknya lebih erat dari biasanya, menggenggam erat jemarinya, membisikkan kata-kata cinta, membisikkan rapalan mantra untuknya. Harapanku, harapannya, berputar lantas menembus angkasa, pada malam itu juga, bagian dari kisah indah akan tertera dalam balutan nada indah. Antara aku dan dia. Perempuan penggenggam hujan, dan si pelukis langitnya.
Read More




Rabu, 27 Mei 2015

Menikam Malam #4

#Kepingan Baru Puzzle yang Hilang
Ilustrasi:uniqpost.com


Kenangan bersamanya, hanya itu satu-satunya harta yang ku punya. Hanya itu satu-satunya yang ingin ku ingat. Aku hanya ingin mengingat wajahnya, aku hanya ingin mengingat dia, selama setiap detik di sisa waktu hidupku. Bahkan aku tak peduli, jika semuanya akan berakhir lebih tragis seperti di awal cerita, aku bahkan tidak peduli melanjutkan dan menata kehidupan yang telah porak-poranda, berserakan bagai kepingan puzzle yang tidak mungkin bisa tersusun, karena terlalu banyak kepingan yang hilang.

Melanjutkan hidup dengan normal? Aku bahkan tak tahu, apakah masih bisa melakukannya sekarang, setelah semuanya yang telah berlalu. Aku bahkan tak percaya terhadap siapa pun, yang ku percaya hanya satu, bahwa sebelum matahari tenggelam akan terlihat setitik kehangatan dan keindahan di sana, akan ada gelap malam yang terukir di cakrawala, akan ada matahari pagi yang hangat muncul di sebelah timur, bahwa terang akan selalu diliputi kegelapan, dan aku tak tahu akan ku hias dengan apa kegelapan itu. Aku tidak tertarik untuk menghias malamku dengan kerlip cahaya. Aku hanya ingin gelap, tetap pekat.

Kejadian malam kemarin masih saja terbayang di pelupuk mata, aku masih mengingatnya begitu lekat. Wanita itu, mengingatkanku kepada Ana-ku, mengingatkan betapa dia menderita pada saat itu, mengigat wajah wanita itu, seperti menyibak luka yang telah tertutup. Masih ku ingat, orang-orang itu tanpa nurani hanya mendengarkan nalurinya, naluri binatang.

“Bos, kita apakan mereka?” tanya salah seorang anak buah Romi, mereka berlima masih menunggu komando.

“Terserah kalian. Urusanku sudah selesai. Pastikan bajingan ini menderita. Terserah kalian akan apakan wanita itu. Buat dia tak bisa melupakan malam ini, buat mereka menderita sebelum menghilang dari dunia.” ia tersenyum picik, menatapku dan menatap Ana.

Bukk!! Keras hantaman tinjunya menerjang ulu hatiku.

“Ini salam perpisahan dariku, sahabatku. Hahahaha!”

Tawanya menggema memecah keheningan malam. Ia berlalu, keluar ruangan ini. sementara aku hendak melawan, tiga kacung Romi telah beraksi, memberikan bogem mentahnya ke tubuhku. Badanku, remuk redam, aku sudah tak bisa melihat dengan jelas di sekitarku. Tapi masih bisa ku dengar teriakan Ana, mencoba mengentikan mereka.

“Berhenti! Jangan! Aku mohon, jangan lagi pukul dia, aku mohon,” suaranya bergetar pilu.

“Hahaaha, diam kau!” plakk! Salah seorang tanpa belas kasihan menampar Ana.

“Nanti tunggu giliranmu cantik. Hahaha. Sekarang, kau lihat dulu suamimu ini, lihat bagaimana dia tak bisa melakukan apa-apa. Akan kita buat dia lebih menderita di ujung hidupnya,”

Ana tersungkur, aku tak bisa berbuat apa-apa. Suaraku parau, mereka benar-benar berhasil membuatku tak berdaya.  Jangankan melawan, hanya sekedar berteriak, tenagaku habis terkuras. Menahan sakit yang menjalar di tubuhku.

Hangat darah yang mengucur di pelipis masih bisa ku rasakan, pandanganku kabur, tapi masih bisa ku lihat sekitar. Pemukul baseball yang menghantam wajahku tadi benar-benar membuatku kehilangan setengah kesadaran.

“Ya, Rabb.. Jangan kau biarkan hambamu ini teraniaya. Jika Kau masih memberikan hidup kepadaku, biarkan hamba melakukan tugas sebagai seorang suami, menjaga kehormatan istrinya. Dan jika Kau menentukan untuk mengambilku, biarkan aku menghadap-Mu dengan cara yang baik. Jangan Kau biarkan hamba-Mu ini menghadap dengan menyimpan dendam di hati. Hanya kepada-Mu hamba meminta pertolongan, hidupku adalah milik-Mu, maka Kau berhak menentukan apa yang kau inginkan.” Ucapku lirih dalam hati.

Sebuah doa dari hamba yang teraniaya, dan akan benar-benar terjadi. Tidak sekarang, tapi kejadian ini merupakan titik balik dari kejadian di masa yang akan datang. Aku hanya bisa terbaring di lantai, napasku tersengal, satu-satu. Aku benar-benar tak berdaya, dan semakin perih ketika melihat para bintang itu mendekat Ana dengan tatapan buas. Aku benar-benar tidak bisa melihat kejadian itu. Aku hanya bisa menangis, melihat mereka mengagahi belahan jiwaku. Sengaja mereka membiarkanku sadar, melihat semua itu. Mereka benar-benar menjalankan instruksi majikannya, mereka benar-benar membuatku menderita.

Aku masih bisa melihat bagaimana Ana memberikan perlawanan, tapi sekuat-kuatnya seorang wanita tidak akan mampu menghadapi lima lelaki yang pikirannya telah menyerupai dajjal. Tanpa ampun, mereka memukul dan menjambak rambutnya, menyeret dan memukul bagai bintang. Dan sebelum hilang kesadaranya, mereka berhasil merenggut kehormatan istriku, mengoyak hatiku. Aku hanya bisa menangis melihatnya, tak bisa berbuat apa-apa. Amarahku bahkan tak bisa membuatku bangkit. Dan semuanya benar-benar cepat berlalu. Tak lagi ku dengar suara Ana, hanya ada gelap. Dan semuanya hilang.

Senja masih tergurat indah di atas sana. Mencoba berdansa dengan cakrawala di akhir waktunya. Sementara itu, burung-burung itu berkicau pelan, ada yang terbang berkelompok, membuat formasi hurup V, menyibak cakrawala dengan kepakan sayap-sayap mungil itu. Anda saja, hidup ini seperti yang dituliskan di cerita-cerita fiksi. Begitu tenang, indah. Dengan balutan romansa cinta yang menghipnotis, dengan lantuan dawai indah menghiasi tiap detak jantung yang memompa darah. Tapi, cerita-cerita itu, tak ubahnya hanya khayalan semu, tak akan pernah terjadi di dunia nyata ini. Jika pun ada, aku tak akan bisa merasakannya lagi.

Ku habiskan sisa hari ini dengan berjalan menyusuri kota ini, kota yang baru ku huni beberapa tahun lamanya. Kota yang selalu dianggap sebagai sepotong surga yang jatuh ke bumi, atau ada yang mengatakan, Tuhan sedang tersenyum ketika menciptakan tempat ini. Jika keadaan berbeda, tentu aku bisa membenarkan kata-kata itu, tapi sekarang, tidak. Aku bahkan hanya bisa merasakan rasa sakit, tanpa bahagia, tanpa ada yang tersisa di jiwa.

Sejak tiga tahun lalu, ketika terkapar di tepi jalan tol. Aku melanjutkan hidup tanpa arah, pagi itu ketika fajar menyingsing di ufuk timur ku lanjutkan hidup sebagai seorang yang teraniaya. Sempat ku kembali mencari Ana, tapi tak ada harapan. Menghilang tanpa jejak. Duniaku seperti runtuh ketika ku dengar kabar jika dia telah tiada.

“Apakah ada informasi tentang Nayla Anastasya pak?”

“Sebentar. Anda siapa, dan ada kaitan apa dengannya?”

“Saya kerabat jauhnya pak, sudah tiga bulan ini saya tidak mendengarkan kabar tentang dia. Apakah babak tahu? Saya sudah datang ke rumahnya, tetapi rumah itu sudah bukan miliknya lagi. Penunggu barunya pun tidak tahu kemana mereka pergi.”

“Tunggu, saya carikan dulu datanya,”

“Nayla Anastasya, istri pengusaha bernama Ryan Wijaya. Betul?” tanya polisi itu.

“Benar pak, apakah ada informasi tentang mereka, apa yang terjadi?” tanyaku tak sabar. Jantungku berdetak kencang.

“Ia ditemukan tewas mengenaskan. Diperkosa sebelum dibunuh. Rumahnya berantakan, dan dari olah kejadian tempat perkara, kami menyimpulkan terjadi perampokan di rumah itu. sementara suaminya, tidak ditemukan hingga kini. Masih belum ada tanda-tanda tentang dia. Kemungkinan dia juga dibunuh, tetapi dibawa ke tempat lain. Kami masih melacak jejaknya,”

“Perampokan?” aku mendesis, menahan amarah, menahan air di mata yang telah tergenang.

“Iya, rumahnya berantakan, beberapa barang-barang hilang. Brankas di rumah itu telah dibobol, bersama dengan dua mobil mewah yang juga ikut raib.”

“Lantas, apakah perampoknya sudah ditemukan?”

“Ya, sudah. Tapi tiga diantara mereka tewas, pada saat penangkapan. Mereka mengadakan perlawanan. Mereka berjumlah lima orang, satu diantaranya mendekam dalam tahanan, dan satunya berhasil meloloskan diri.” jawab polisi tersebut.

Aku benar-benar lemas mendengarkan kabar tersebut. Si bajingan itu benar-benar berhasil memanipulasi kejadian. Sampai sekarang kebejatannya tak terendus oleh pihak berwajib.

“Maaf, nama Anda tadi siapa, Romi?” tanya polisi tersebut.

“Benar pak.” jawabku tergagap.

“Nama Anda sama dengan rekan si pengusaha malang itu,”

Aku terhenyak demi mendengar kabar tersebut. Berarti dia sempat berhubungan dengan pihak kepolisian.

“Pak Romi, juga berperan aktif dalam penangkapan perampok tersebut. Dia turut membatu kami dalam penangkapan mereka. Bahkan, dia yang memberikan informasi tentang keberadaan perampok tersebut. Dua minggu setelah kejadian kami berhasil menggrebek sarang komplotan perampok yang telah masuk ke daftar buruan kami. Dan itu berkat informasi dari beliau. Mungkin Anda kenal beliau. Dan hingga kini, dia masih sering berhubungan dengan kami, mencari informasi keberadaan penguasaha tersebut. Dia meminta kami mengusut kasus ini hingga tuntas dan beliau meminta kami segera menemukannya.?”

“Tidak, saya tidak mengenalnya.” aku hanya menggeleng. Menahan amarah yang terbakar. Dia benar-benar seorang biadab. Setelah apa yang dilakukannya, dia berlagak seperti pahlawan. Dan tentu saja dia ingin tahu keberadaanku, dia akan menghabisiku jika tahu aku masih hidup. Aku benar-benar geram.

“Baiklah, apakah ada yang bisa dibantu?”

“Tidak pak, terima kasih informasinya.” polisi tersebut mengangguk, mempersilakanku pergi.

Dari kantor polisi aku langsung menuju kantorku, bukan. Bukan lagi kantorku, tetapi bekas kantorku. Ku perhatiakan dari kejauhan, lima orang keamanan berada di depan gerbang, tampak ketat dijaga oleh security, juga ada dua polisi yang sedang berjaga di sana. Dia benar-benar meningkatkan kewaspadaannya.

Aku tak bisa mendekat. Semua orang itu baru, dan tidak ada satu pun anak buahku yang tersisa. Aku tidak bisa mendekat. Aku harus waspada. Tidak bisa sembrono menghadapi ini, aku perlu sebuah rencana. Ya, rencana untuk membalas kekejiannya, aku akan membalas semua itu, dengan cara yang tak akan bisa dilupakannya, aku akan merenggut semuanya darinya, aku ingin merasakan seperti apa rasanya kehilangan. Tapi tidak sekarang, aku harus segera menjauh. Jika tidak, semuanya akan sia-sia, amarahku hanya akan mengacaukan semuanya.

Tapi, aku justru terjerembab di sini. Terdampar di kota ini. Setelah dari kantor Romi, langkahku tak tentu arah. Rasa putus asa itu bahkan mampu melupakan amarah dan dendam. Langkah kakiku akhirnya menuntunku untuk berada di tempat ini. Terkunci di sini, nasibku berakhir menjadi seorang berandal dan pemabuk.

Dua tahun lalu, setelah kejadian yang memilukan itu. Ketika aku berjalan tak tentu arah, membiarkan langkah kaki membawa tanpa tujuan, dunia ini semakin kelam usai kejadian selanjutnya yang mampu mengubah hidupku. Kejadian di mana untuk kedua kalinya aku harus berjumpa dengan amarah. Ketika malam berada di titik tergelap, aku melihat tiga orang menghajar seorang lelaki yang sudah tidak berdaya. Darah membasuh wajahnya, luka cabikan benda tajam menganga dari tubuhnya. Kakiku tergerak begitu saja ketika melihat kejadian itu. Dan ketika salah seorang hendak memukulkan batu  bata ke wajah lelaki yang telah terkapar itu, secepat kilat aku menyambar sebuah pipa yang berada di sampingku.

Buk!! Sekuat tenaga ku pukulkan pipa itu di kepala bagian belakang lelaki itu, tak menunggu lama dia terkapar. Sementara dua orang rekannya yang terkejut melihat rekannya ambruk langsung berbalik arah kepadaku. Satu orang memegang belati, sementara satu orang lagi menggunakan tangan kosong. Bersiap menghadapiku. Aku masih ingat pelajaran beladiri pencak silat semasa kuliah dulu, beberapa jurus masih bisa kugunakan. Aku tak akan mundur, aku telah masuk ke arena laga, pantang bagiku mundur.

Tanpa basa-basi kedua orang itu menyerangku membabi buta, bergantian melancarkan tinju dan terjangan. Aku masih bisa berkelit, tapi satu hujaman belati itu berhasil menggores lenganku, mengoyak kaos yang ku kenakan. Tapi satu tinju ke arah rahang mampu membuatnya ambruk, sementara tendangan memutarku berhasil mengenai ulu hati satu orang lainnya. Mereka terkapar, aku kalap. Semuanya gelap, tinjuku bergantian mengajar orang-orang itu, wajahnya sudah tak berbentuk. Berada di tingkat khusus satu dalam perguran silatku, cukup merubuhkan orang-orang itu dengan mudah. Meski telah lama tak ku gunakan, beberapa jurus dan olah napas masih bisa kukuasai dengan baik.

Amarahku terbakar, kejadian malam itu benar-benar menguasai kelapa. Batu-bata yang tergeletak di sebelahku tadi ku ambil, tanpa pikir panjang, ku hantamkan sekuat tenaga ke wajah salah seorang dari mereka. Dia hanya mengerang sebelum berhenti bergerak. Sementara mataku tajam melihat satu orang lainnya, ia mundur ke belakang, dengan posisi duduk. Menyeret tubuhnya yang tak lagi kuat berdiri, tapi sebelum bata yang ku genggam mendarat di wajahnya lelaki yang dikeroyok tadi bangkit dan sekuat tenaga menghantamkan kayu ke kepalanya.

Brak!! Ia mendengus puas. Sementara yang dipukul langsung tergeletak. Bersimbah darah yang mengucur dari kepalanya. Aku hanya menatap kejadian itu, mengatur napas yang tersengal. Mencoba kembali mengembalikan nalar yang telah dikuasi amarah.

“Siapa kau?”


Aku hanya diam. Lelaki itu tak lama juga ikut ambruk. Luka di tubuhnya telah membuat dia tak mampu berdiri dengan sempurna. Malam ini rangkaian cerita ini akan menyusun kembali puzzle yang berserakan. Mengganti kepingan yang hilang, menjadi satu rangkaian baru yang akan benar-benar berbeda dengan cerita yang ada sebelumnya. Ketika malam menikam dengan kejadian yang tak pernah terbayangkan, aku dihadapkan kepada situasi yang benar-benar rumit, dan tidak akan pernah ku mengerti mengapa menjadi seperti ini. Doa malam itu akan terjawab dengan rangkaian kejadian dalam waktu yang entah kapan berakhir.
Read More




Sabtu, 23 Mei 2015

Menikam Malam #3

#Secangkir Kenangan Manis di Sore yang Romantis
Ilustrasi: http://4.bp.blogspot.com

Terik menyengat, membakar sisa harapan, lantas menguap. Menghilang entah kemana. Rasa kantuk mulai menyergapku, di bawah pohon rindang ini, semuanya begitu menenangkan. Entah, sudah berapa lama tak ku injakkan kaki di pelataran rumah itu. Bangunan dengan tembok tinggi, berjejer mobil di dalam garasi. Lagi pula, tak ada gunanya aku ke sana. Itu bukan milikku lagi, kini, sesuatu yang ku sebut rumah, telah benar-benar hilang dan tak ada alasan buatku untuk pulang, karena aku tak tahu kemana harus melangkah, menentukan tujuan.

Teduh tatapannya, renyah tawa itu mencairkan suasana. Suasana yang selalu ku suka. Ia menatap penuh perasaan, aku selalu suka membelai rambut itu, menatap kedua mata itu, begitu lekat. Mengecup bibirnya, aku selalu suka. Ahh, bayangan itu, setidaknya selalu berkelebat terlintas di pikiranku, sesaat menghiburku. Sudah tiga tahun semua itu berlalu, sejak aku menyuntingnya, menjadikannya bagian dalam hidupku. Aku baru saja mereguk bahagiaku dengannya, seorang wanita yang ku perjuangkan dengan nada lantang, wanita yang membuatku tertawa, aku sempat merasakan bahagia dengannya.

Tapi, kejadian itu. Kejadian itu benar-benar membuat semuanya sirna. Bajingan itu, benar-benar menghancurkan semuanya. Entah apa pasalnya, seorang yang dianggap sahabat itu, dengan lantang merenggut semua yang dimilikinya.

“Rom! Apa yang kau lakukan?!”

“Yang ku lakukan? Menghancurkanmu!”

“Bangsat! Lepaskan!”

“Diam!” lelaki yang dipanggil Romi itu menggebrak meja.

“Kau, tanda tangani ini. Cepat!”

Ku tatap nanar tumpukan kertas itu. Sebuah surat perjanjian hibah saham perusahaan. Aku menggeleng, lalu bisa menebak apa maksud Romi. Belakangan ini dia telah melakukan berbagai cara, namun gagal. Dari mulai cara terhalus dan sekarang dengan cara kekerasan. Sementara dua orang yang memegangiku mendorong paksa.

“Kenapa, kau enggan menandatangani surat itu, baiklah. Sepertinya kau butuh dorongan untuk melakukannya,” tatapan matanya sinis, penuh dengan kelicikan.

“Bawa wanita jalang itu ke sini!”  ia memberikan komando ke salah satu anak buahnya.

Ana dibawa ke ruangan ini, dengan mulut tersumpal kain, kedua tangannya tak luput dari sasaran. Pipinya bersemu biru, sepertinya dia melakukan perlawanan. Amarahku memuncak, napas menderu, tak pernah ku biarkan orang lain menjamahnya.

“Bagaimana sekarang? Kau masih enggan melakukan apa yang ku minta. Jika kau menolak, bisa kau pastikan, seumur hidupmu akan menanggung derita dan sesal. Kau bahkan tidak bisa menjaga wanita yang telah menyerahkan semuanya kepadamu. Aku bahkan tak yakin kau mampu berteriak melihat semua ini,” Romi menyentuh pipi Ana, merabanya dengan tatapan picik, lalu menarik paksa penyumpal mulutnya.

Tanpa ku duga, Ana meludahi Romi, tepat di wajahnya. Tatapannya garang, penuh kebencian. Aku belum pernah melihat kemarahan seperti itu sebelumnya.

“Dasar jalang!”

Plak! Romi menapar wajah Ana, tak terima mendapatkan penghinaan itu.

“Rom!  Sekali lagi kau sentuh dia..”

“Apa, kau mau melawanku? Heh?”

Buk!! Seketika tinjunya menghantam perutku. Aku ambruk, berlutut di depannya. Menahan nyeri di ulu hati.

“Sialan kau Rom!” desisku.

“Jangan banyak bicara kau, cepat. Tandatangani berkas itu, atau sesuatu yang tidak kau inginkan akan terjadi. Sesuatu yang sangat kau benci. Hahahaha”

Romi melemparkan berkas itu ke hadapanku. Tanpa berdaya, aku melakukan yang dia minta. Perusahaan itu, adalah sesuatu yang ku rintis dengannya. Entah kenapa, dia melakukan ini. Padahal dia adalah sahabatku, sejak di Universitas dulu, dia jelas tahu bagaimana susahnya aku merintis usaha ini dari awal, di awali dengan berjualan cermin di pinggir-pinggir jalan, menjajakannya ke rumah-rumah. Hingga akhirnya setelah berperih-perih, aku berhasil membuka kios, tidak hanya cermin yang dijual, semua jenis kaca ku jual di kios itu. Sampai akhirnya aku bertemu seorang pengusaha, dia memberikan kepercayaan kepadaku menjadi pemasok kaca di gedung yang akan dibangunnya.

Hingga saat ini, setelah delapan tahun aku bergelut di bisnis ini, memiliki pabrik di tiga kota, dan beberapa cabang perusahaan yang bergerak di bidang properti, akan segera sirna. Semua aset yang ku miliki akan lenyap ketika ku tandatangani berkas itu. Di tangan seseorang yang ku sebut sahabat.

Sesaat ku lihat Ana yang berada tepat di depanku. Matanya berkaca-kaca. Sungguh, aku tidak bisa kehilangan dia disakiti, bahkan hanya dijamah orang lain, aku tak akan rela. Harta ini, bisa ku cari, tetapi tidak akan ku temui Ana lain di luar sana.

“Cepat! Apa lagi yang kau tunggu?”

Gemetar tanganku menandatangani berkas itu.

“Ya Tuhan, jika harta ini bukan milikku, maka buat aku rela melepaskannya, biarkan itu semua jadi ladang ibadah untukku. Tapi jika itu adalah hakku, maka berikan pengertian kepadaku, jika semua itu akan kembali padaku. Jangan Kau buat aku ragu tentang keputusanmu, jangan Kau buat bimbang hatiku tentang semua ini,” gumamku dalam hati.

Kasar Romi mengambil berkas itu dari tanganku. Dengan wajah penuh kemenangan, dia tersenyum sinis. Hatiku hanya bisa mengumpat. Tak bisa berbuat banyak lagi. Aku tidak akan mempertaruhkan keselamatan Ana. Aku tidak akan pernah membuatnya dalam bahaya, itu adalah janjiku, janji ketika aku hendak menyuntingnya. Tetapi, kini aku telah gagal menepati janji itu.

Buk!! Sekali terjang kakinya telak mengenai rahangku, darah mengucur dari mulutku. Kesadaranku perlahan memudar, padangan kabur. Sekuat tenaga ku coba untuk tetap sadar.

“Kau tahu, dari dulu aku tidak bisa menerima ini. Kau tentu ingat, bagaimana aku bekerja keras ketika kita masih menjadi kawan sebangku. Kau tentu juga tahu, aku selalu lebih pintar darimu. Aku lulus dengan predikat terbaik, sedangkan kau. Kau tidak sama sekali, kau bahkan tidak berhasil menyelesaikan studimu. Kau selalu lebih populer dariku, padahal akulah yang terpintar. Lalu, kau merebut dia dariku. Wanita yang ku sayangi. Kau merebut semuanya dariku. Sekarang, kau akan menerima akibat dari perbuatan keji itu.”

“Hajar dia, tapi jangan kalian buat mati. Biarkan dia sekarat. Wanita itu, terserah kalian!” Romi berikan instruksi kepada kelima anak buahnya.

Tanpa basa-basi, ketiga anak buah Romi menghajarku, ketika tubuhku remuk redam. Aku masih bisa melihat Ana berteriak di depanku, matanya bercucuran air mata melihatku tersiksa. Tapi, keadaan yang lebih pedih terjadi. Bukan terjadi kepadaku, tetapi kepada dia, kepada Ana-ku.

Aku terjaga, tepat ketika suara muadzin kumandangkan adzan. Mungkin pukul empat sore sekarang. matahari mulai condong ke barat. Sebentar lagi hari akan menepi, menyajikan pemandangan yang selalu kami sukai, ya, aku dan Ana-ku, selalu suka menatap senja yang merona, atau menikmati secangkir teh ketika hujan menyapa. Bercengkrama dengan belaian hawa dingin.


Sekuat tenaga aku menepis semua kenanagan itu. Kenangan yang kemudian menjadi sangat menyakitkan. Tiga tahun lalu, setelah ku putuskan untuk meninggalkan semua kenangan di kota itu, kakiku melangkah tak tentu arah, dan terdampar di sini. Bertahan dengan sisa kenangan yang terus berkecamuk. Berakhir tragis di kota yang selalu romantis. 
Read More




Kamis, 21 Mei 2015

Menikam Malam #2

#Wanita Pesolek
Ilustrasi: cdn.metrotvnews.com


Pukul 01.43 dini hari, tidak terasa waktu berlalu begitu cepat. Napasnya masih tersengal. Kejadian itu begitu cepat berlalu. Semuanya masih ada di depan mata, sangat nyata. Tangannya masih bergetar hebat, sementara keringat dingin terus mengucur. Masih bisa terlihat dengan jelas, bagaimana si botak yang mencoba menjamahku tadi rubuh seketika, setelah pecahan botol itu merobek perutnya, sementara dua lainnya juga terkapar tak berdaya. Lantas, siapa orang itu, kenapa dia membantuku, kenapa dia menolongku. Lalu, kenapa dia juga begitu dingin, kenapa dia begitu kasar. Siapa dia, sama seperti ketiga lelaki itu, preman atau anggota geng, atau dia hanya sekedar lewat, tapi dia menenggak minuman keras. Ahh, semua pertanyaan itu berkecamuk di benaknya, masih belum ada titik terang dari semua tanya itu.

Malam merangkak pelan, di dalam taksi Rey masih terpekur. Menggigil ketakutan, sementara sang sopir fokus memegang kemudi. Jalanan lengang, hanya ada beberapa kendaraan yang melintas, suasana kota ini memang begitu syahdu, terlebih ketika malam menjelang atau ketika tak terlalu banyak aktifitas.

“Mau kemana neng kita?”

Aku tersentak, menepuk jidat. Sial, aku lupa belum memberikan alamat jelas akan kemana tujuanku.

“Ke Burangrang pak,” jawabku.

Dalam hati Rey hanya bisa merutuki nasibnya malam ini. Entah mimpi apa semalam, hanya satu, hari ini benar-benar kacau. Rentetan masalah terus mendera bak gelombang pasang, terus menerjang, bahkan hampir saja merobohkannya. Pagi-pagi sekali dia harus mencari cara, bagaimana untuk bisa mencari uang pinjaman, kira-kira selepas subuh, ia mendapatkan telepon dari kampung, adiknya masuk rumah sakit karena typus, dengan kata lain, orang tuanya butuh uang segera. Persediaan uangnya habis sudah, pekerjaannya yang hanya sebabai pelayan sebuah café habis, bulan ini dia telah mengirimkan uangnya ke rumah sebanyak dua kali, dan ini kali ketiga ibunya berikan kabar yang mengusiknya.

Sempat terlintas untuk meminjam uang, tapi kepada siapa. Ke tempat ia bekerja, hal yang tidak mungkin, dia terlalu sering melakukan kas bon. Dan kali ini benar-benar mendesak, Ari, adiknya telah demam tinggi lebih dari dua hari, segala macam obat tradisional telah diberikan, tapi kondisi itu tidak membaik, dan terpaksa harus mendapatkan rawat intensif di rumah sakit.

Sempat kembali terlintas di pikirannya untuk menerima tawaran Kikan yang diterimanya sore tadi, ia kembali membuka pesan singkat yang membuatnya tersentak. Tapi kali ini, tawaran itu benar-benar membuatnya bimbang.

“Rey, temanku minta ketemuan sama kamu, kalo mau kamu datang malam nanti jam 10 di Andalusia café.” Kikan mengirimkan  pesan tersebut.

Sebuah ajakan yang tidak bisa langsung ku iya-kan. Beberapa hari lalu, aku menceritakan masalah finansial ini kepadanya. Dia memberikan pinjaman uang yang ku butuhkan, sekaligus memberikan solusi untukku. Ada alasan penting, kenapa Kikan menjadi tujuanku ketika keadaan finansial mendesak, sebab dari segi ekonomi, dia jelas lebih mapan dariku. Padahal, dia satu tempat kerja denganku, dan dia selalu bisa memiliki uang lebih. Sempat ku tanyakan hal itu kepadanya, tapi ia hanya tersenyum sembari berkata.

“Nanti aku bakal cerita, kalo kamu benar-benar butuh bantuanku, sekarang, kamu tidak harus tau,” aku hanya mengangguk. Tidak banyak kata, karena hingga saat ini dia adalah satu-satunya sahabat terbaikku.

Dan dua hari lalu, saat ku ceritakan masalah ini kepadaku dia mengungkap sebuah rahasia yang tetap bungkam. Rahasia yang membuatku hanya bisa termenung, tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Ketika fajar tenggelam, hatiku berkecamuk kelam. Sebuah pertanyaan yang tidak gampang untuk ku tuntaskan, sebuah tanya yang ingin selalu ku tanyakan, tapi, aku masih belum tahu, kepada siapa pertanyaan ini akan ku berikan.

“Kamu pikir, hanya menjadi pelayan café, aku bisa menghidupi diriku. Kamu lihat, pakaian ini, tempat tinggal ini, sepatu, tas dan semua yang ku punya, tentu tidak bisa didapatkan dengan bekerja sebagai pelayan café. Tapi aku bisa mendapatkan semua itu, dengan melayani mereka. Orang-orang berduit itu,”

“Ya, mungkin kau akan segera merasa jijik denganku. Tapi, kamu tau, semua itu adalah harga yang pantas didapatkan. Orang-orang seperti kita ini, sulit untuk bisa hanya sekedar berjalan. Kerja banting tulang, mengeluarkan yang terbaik, tapi kamu lihat kan? Cucuran keringat kita hanya dibayar dengan uang yang bahkan tidak cukup untuk makan sebulan,”

“Kerja di kantoran, untuk orang desa seperti kita, sulit. Terlebih sekarang persaingan dunia kerja seperti itu. kamu tahu, berapa banyak sarjana di sana yang berakhir hanya duduk-duduk saja sehabis kuliah, sementara kita yang mengandalkan ijazah SMA, apa yang bisa kita lakukan? Tidak ada Rey!”

Mata Kikan berkaca-kaca. Jelas dia tidak menikmati apa yang dilakukannya saat ini. Aku hanya bisa memeluknya. Tak ada sepatah kata yang bisa terlontar dari bibirku.

“Kamu tahu Rey, awalnya ku lakukan itu karena butuh biaya. Kau tahu, seperti saat ini, sama seperti yang kamu alami. Orang tuaku terlilit hutang, Bapakku, terlilit hutang oleh rentenir, dan tanah miliki mereka telah habis terjual. Dan harapan satu-satunya, hanya aku. Mereka memberikan kabar kepadaku, jika hutang tersebut tidak segera dilunasi, Bapak akan dipenjara. Aku tak mau melihat keluargaku seperti itu. biarkan aku berkorban lebih. Mereka telah melakukan banyak hal untukku. Dan sekarang, giliranku berkorban untuk mereka.”

“Kamu tahu Rey, kondisi itu tidak semakin membaik. Setelah ku bayar hutang itu. Bapak tiba-tiba sakit, entah bagaiamana caranya mereka tahu pekerjaanku ini. Bapak tidak menerima itu, akibatnya dia kena serangan jantung. Dan tak lama kemudaian, ia harus meninggalkan kami. Meninggalkan ibu dan dua adikku yang masih sekolah. Dan sekarang, hanya aku satu-satunya tulang punggung keluarga ini, pekerjaan ibu yang hanya buruh tani, tak cukup untuk membiayai sekolah kedua adikku. Aku tidak ingin kedua adikku mengalami nasib yang sama denganku, terjerambab di jurang kenistaan ini. Sekuat tenaga, aku akan menyekolahkan mereka, kini mereka telah masuk universitas, sebentar lagi salah satu dari mereka akan mendapatkan gelar sarjana. Besar harapanku untuk mereka,”

Aku hanya bisa diam. Sungguh, tak pernah terbersit di pikiranku, tentang sahabat baikku ini. Aku hanya bisa diam seribu bahasa.

“Kamu tidak harus mengikuti jejakku Rey, aku tahu kamu perempuan baik. Kamu bisa melalui semua ini tanpa harus melumuri tubuhmu dengan dengus sejuta lelaki,” ungkapnya lirih.

Kikan menyodorkan amplop kepadaku, aku hanya menatapnya.

“Ini, mungkin bisa meringankan bebanmu, uang ini memang dari hasil nista. Tapi aku tulus memberikannya untukmu.”

Aku hanya menggeleng, menolak bantuannya.

“Kenapa? Bukankah kamu butuh ini. untuk berobat adikmu Rey.”

“Maaf, aku tidak bisa. Maafkan aku, kamu lebih membutuhkannya dariku. Aku baik-baik saja, aku bisa melalui ini. semoga,” ucapku lirih.

“Baiklah, keputusanmu. Aku tidak bisa memaksa.”

Aku hanya mengangguk pelan. Sementara itu, langit di atas sana tampak tersenyum. Indah, lukisan Illahi tampak begitu anggun. Dengan lembayung memeluk senja yang mempesona. Aku terpaku sesaat, menikmati sebagian hari yang mulai tenggelam. Sementara hatiku, sungguh tak bisa merasakan kedamaian kota yang tersenyum di batas waktunya.

Malam merambat pelan, rinai hujan menyisakan hawa dingin. Menusuk tulang, pesona mentari memang telah tenggelam di batas cakrawala. Tapi, kota ini, selalu menyajikan pesona yang berbeda. Akan selalu tampak cantik, tak perlu bersolek. Dan aku, masih terpaku di depan cermin. Menatap wajahku yang baru saja selesai dipoles dengan make-up, membayangkan wajahku dijamah oleh orang lain, aku bergidik. Tak sanggup membayangkannya. Tapi tekadku sudah bulat, tadi aku membalas pesan singkat kepada Kikan. Bahwa aku akan menemuinya di café yang telah ditentukan olehnya. Tekadku, bahkan mengalahkan rasa jijikku terhadap semua ini.

Pukul 08.00, aku harus segera bergegas. Hujan tidak akan menyurutkan geliat kota ini. Tentu jalanan akan semakin padat, ditambah ini adalah weekend, akan banyak pelancong yang datang ke kota ini. Hatiku diliputi perasaan gamang luar biasa, hatiku tidak bisa menerima ini, tapi jelas keadaan benar-benar membuatku harus melupakan ego dan mungkin harga diri. Tapi, sejak tadi aku berada di tempat ini, masih berusaha menimbang apa yang ku lakukan, dan akhirnya ku putuskan untuk mengirim pesan singkat kepada Kikan.

“Kikan, maaf. Aku tidak bisa.” tulisku singkat.

Tidak menuggu lama, teleponku berdering. Nada panggilannya meraung-raung, berpadu dengan bisingnya gejolak hatiku. Ku putuskan untuk menolak panggilan itu. Telah tiga kali, Kikan memanggil ulang, aku benar-benar tidak bisa menerima ajakan itu. Hatiku menolak tegas. Tapi, sekelebat bayangan adik dan keluargaku di rumah, sesaat mendatangiku. Terbayang wajah adikku yang saat ini tergolek lemas karena sakit, terbayang wajah ibu yang cemas menunggu. Maaf, bu, aku tidak bisa melakukan ini. batinku lirih.

Ku matikan teleponku, ku putuskan untuk berjalan melewati malam. Dan sial, ketika lamunanku mengintimidasi logikaku, aku telah berada di tempat ini, tempat yang sepi. Sementara kini, di depanku telah berdiri tiga orang laki-laki. Dari tampangnya, mereka bukanlah kiyai atau ustadz. Bau alcohol menyengat, sementara itu lelaki yang berkepala plontos dipenuhi dengan tato, sementara dua lainnya bisa ku simpulkan, mereka juga bukan orang baik-baik.

Mereka mungkin juga berpikiran sama denganku. Tubuhku dibalut dengan pakaian yang bahkan sulit untukku bernapas. Rok di atas lutut dengan pakaian agak terbuka, memperlihatkan leher jejang dan rambut panjangku. Belum lagi goresan make-up di wajah dan parfum menyengat, mereka segera bisa menyimpulkan jenis wanita seperti apa aku ini, terlebih aku berjalan seorang diri di tengah malam. Aku benar-benar dalam kondisi yang sulit untuk dibayangkan. Keluar dari kadang buaya, aku justru memberikan tubuhku ke segerombolan serigala.

Aku hanya bergidik, takut membayangkan apa yang akan terjadi. Tapi rasa takut itu mulai sirna sedikit ketika datang seorang pria yang menyela ketiga serigala ini. Tapi, perasaan lega itu hanya sesaat. Karena pria itu berjalan sempoyongan, menggenggam botol minuman keras, menyongsong kami.

Aku telah meminta kepada mereka, untuk mengambil apa pun yang ku miliki, dan membiarkan aku pergi. Tapi, ruapanya mereka menginginkan lebih, mereka menginginkan lebih dari sekedar barang-barang yang ku bawa. Mereka menginginkan tubuh molekku. Aku tertegun, benar-benar tak bisa membayangkan hal ini.

Tapi sebelum semuanya ku mengerti, kejadian itu cepat berlalu. Ketiga orang tersebut tumbang, dengan darah mengucur dari kepala dan perut mereka, sementara satu orang lagi terkapar dengan lelehan darah yang keluar dari mulutnya. Dan kini, hanya tersisa dia seorang, lelaki yang tadi berjalan sempoyongan, kini tak ada lagi botol minuman yang tergenggam di tangan. Karena telah pecah di kepala orang itu, sementara sisa pecahannya masuk ke dalam perut si plontos.

Tampang pria itu jelas tak bersabahat. Dari kata-katanya sangat kasar. Sementara itu, penampilannya tak lebih dari sekedar pemabuk. Rambut gondrong tergerai, jambang tak terawat dengan bau alcohol yang juga menyengat. Tapi, dia masih tampak bingung. Entah karena apa, dia melihat tangannya yang tadi memegang botol. Mungkin menyesal karena minuman itu telah berhamburan di jalanan.

Belum mendapat penjelasan, pria itu menyentak dengan kasar, menyuruhku segera bergegas meninggalkannya. Dan tanpa pikir panjang, aku bergegas, hanya saja tak sempat ku ucapkan terima kasih kepadanya.


Pikiranku masih melayang bebas di awang-awang. Sementara aroma hujan masih menyisakan sebuah tanya. Aku terpekur, nyaris saja terjerumus ke jurang itu. Tapi, aku belum benar-benar terlepas dari kondisi itu. Entah sampai kapan aku bisa bertahan. Pertanyaan ini, apakah bisa akan terjawab dengan satu kata. Dan malam benar-benar menikam keadaan, benar-benar menyayat perasaan. 
Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML